JAKARTA, ELITNEWS.COM, – Belajar dari persoalan minyak goreng sawit (MGS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) berupaya sekuat tenaga naik kelas dari petani TBS (Tandah Buah Segar) sawit menjadi petani penghasil CPO (Minyak Sawit Mentah). Keinginan atau obsesi petani naik ke hilir akan terus diwujudkan melalui kolaborasi berbagai pihak termasuk perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Hal ini disampaikan Dr. Gulat ME Manurung, CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO kepada wartawan, Jumat (03/06/2022) di Jakarta.
Sehari sebelumnya sewaktu MoU APKASINDO dengan ITS melalui virtual zoom, Gulat telah menyampaikan sambutannya. “Dilarangnya ekspor CPO pada bulan lalu membuat petani sadar dari keterlenaan, tidak cukup bermain di hulu. Kami harus naik masuk ke hilir,” ujar Dr. Gulat ME Manurung, CIMA, Ketua Umum DPP APKASINDO, melalui virtual meeting, Kamis, (02 Juni 2022).
Gulat mengatakan kerjasama dengan ITS ini sangatlah penting untuk membantu petani sawit sebagai bagian persiapan “hijrah” ke sektor pengolahan CPO dan produk hilir seperti minyak goreng.”Harapan kami, ITS memberikan teknologi kekinian agar mendapatkan efisiensi tinggi dalam pengolahan CPO,” urainya.
Apalagi ITS terkenal dengan keteknikan dibidang perkapalan tentu ada hubungannya dengan sawit petani. Seperti misalnya rencana APKASINDO membangun tangki timbun CPO di beberapa pelabuhan CPO internasional. Keinginan tersebut bukan karena kondisi turbulensi harga TBS hari ini, Rp.1.600/kg, ini sudah makin tidak tentu arah dan lucu disaat harga CPO dunia sudah mencapai diatas Rp.23 ribu/kg, yang seharusnya harga TBS petani diangka Rp.5.500/kg.
Kondisi saat ini bukan hanya merepotkan kami petani, tapi dunia kehilangan sumber pangan terkhusus energi dan kami ingin ada disana membantunya. Dalam upaya mendongkrak petani naik kelas, APKASINDO telah mengajukan dukungan pembiayaan pembangunan 10 unit pabrik sawit melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Gulat mengatakan dari 10 unit pabrik sawit yang diajukan, telah disetujui 3 unit. Kebutuhan dana pembangunan pabrik sawit sebesar 100 miliar rupiah. Duit sebesar ini tidaklah besar karena menurut catatan kami, petani telah menyumbang Rp 507/kg TBS. Tahun 2021 terkumpul Rp 71 Triliun (PE USD 175) dan tahun ini dengan naiknya pungutan ekspor menjadi USD 375/ton CPO, tentu akan tembus 100 Triliun.
“Kami akan sangat fokus memanfaatkan dana tersebut untuk menuju hilirisasi TBS Petani, kami akan pastikan itu karena roh dari berdiirinya BPDPKS adalah salah satu utamanya disitu. Selama ini dana itu hanya lebih “disibukkan” menyumbang untuk B30 dan Subsidi MGS Curah,” jelas Gulat usai diskusi dengan 7 dubes negara negara Eropa di Jakarta.
“Mohon tunjuk ajar dari ITS supaya petani diberikan pengetahuan dan teknologi tepat guna yang efisien bagi pengolahan sawit. Selain dari BPDPKS, petani juga mengalokasikan dana bagi riset aplikatif. Namun, besaran dana ini juga terbatas. Itu sebabnya, dukungan BPDPKS sangat diharapkan sebagai pengelola dana pungutan ekspor,” tambah Gulat.
Sampai saat ini kami melihat, Perguruan Tinggi lebih tulus memikirkan kami petani sawit dan kami akan lebih mendorong itu melalui dana kami di BPDPKS.
Direktur Kerjasama dan Pengelolaan Usaha (DKPU) ITS Tri Joko Wahyu Adi ST MT PhD mewakili Wakil Rektor IV ITS Bambang Pramujati ST MSc Eng PhD, menyambut baik kerjasama MoU dengan APKASINDO dalam upaya membantu petani menuju hilirisasi sawit. “Di ITS, kami punya 10 riset salah satunya berkaitan agri pangan yang dapat mendukung implementasi kerjasama ini,” jelasnya.
Sekjend DPP APKASINDO Rino Afrino, ST., MM.,C.APO menyampaikan untuk memperkuat dukungan bagi implementasi MoU APKASINDO dan ITS bahwa penopang perkebunan sawit adalah harga. Walaupun telah melakukan Good Agricultural Practices seperti menggunakan bibit unggul jika harga kurang bagus tidak menjadi daya saing.
“Hari ini, harga internasional sekitar 1700 dolar per ton. Jika harga TBS sawit tidak dipotong bea keluar dan pungutan ekspor seharusnya petani menikmati 5000 rupiah per kilogram. Namun karena dipotong bea keluar dan pungutan ekspor maka harga yang diperoleh petani sebesar 3500 rupiah kilogram,” ujarnya.
Ia juga mengatakan petani tidak punya kekuatan seperti korporasi besar. Di kuartal pertama, perusahaan sawit dapat memberikan dividen dan cetak laba tinggi karena didukung fasilitas penyimpanan CPO. Lain halnya dengan petani yang harus berdarah-darah karena harus menerima besaran beli TBS sawit sesuai keputusan pabrik.
“Petani harus menjual buah sawitnya maksimal dua hari kepada pabrik, berapapun harga mereka tetapkan. Ini disebabkan, petani tidak punya fasilitas tanki penyimpanan. Beda cerita kalau ada, makanya kami usulkan supaya petani juga punya fasilitas penyimpanan CPO skala besar bekerjasama dengan daerah seperti Pelalawan,” pungkasnya. ****