INDRAGIRI HILIR, ELITNEWS.COM – Di pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, hidup sebuah komunitas yang telah berabad-abad menjaga laut dan hutan bakau—Suku Duanu. Mereka bukan pendatang, tetapi bagian dari sejarah panjang kerajaan dan penjaga perairan Nusantara. Sejak 1999, mereka resmi mendeklarasikan diri sebagai Duanu, menanggalkan label “Orang Laut” yang sarat stigma: kotor, tak berpendidikan, dan rendah ilmu.
“Panggil kami Duanu,” begitu tegas mereka. Sebuah pernyataan identitas sekaligus perlawanan damai melawan diskriminasi. Mereka ingin diakui sebagai masyarakat adat yang bermartabat, bukan sekadar catatan kaki sejarah.
Kearifan lokal mereka terjaga lewat petuah turun-temurun: Hoyyu Barau Untuk Bertedoh, Usah Ditebang Bia Nyu Tumboh — hutan bakau untuk berteduh, jangan ditebang, biarkan tumbuh. Adat melarang racun ikan, melarang menebang mangrove sembarangan, dan melarang mengambil kerang dengan cara merusak.
Ironisnya, justru saat mereka setia menjaga, ancaman datang dari luar: penggunaan alat tangkap merusak, racun ikan di sungai, penebangan bakau untuk cerucuk bangunan, industri arang, dan ekspansi tambak udang. Akibatnya, mangrove hilang, abrasi merangsek, dan kebun kelapa rakyat tergerus intrusi air laut.
Zainal Arifin Hussein, aktivis lingkungan dan penggerak ekonomi rakyat pesisir yang juga pengurus Provinsi Riau Asosiasi Petani Kelapa Indonesia (APKI), mengingatkan bahwa kerusakan mangrove sama dengan memutus urat nadi kelapa di pesisir.
“Kalau bicara kelapa di Riau, kita tidak bisa memisahkan pohon kelapa dari mangrove. Mangrove adalah pagar alami. Kalau pagar itu hilang, kebun kelapa ikut lenyap,” tegasnya, Senin (11/8/2025).
Ia mengkritisi Roadmap Perkelapaan Riau yang baru diluncurkan. Menurutnya, peta jalan itu tak boleh hanya sibuk dengan hilirisasi dan tata niaga, sementara sektor hulu—yakni ekosistem penopang produksi—terabaikan.
Zainal mendorong langkah konkret: rehabilitasi mangrove, pengurangan penggunaan cerucuk bakau dengan material ramah lingkungan, pengetatan izin industri arang, dan pengendalian tambak udang di kawasan lindung.
“Keberlanjutan kelapa Riau tidak cukup diukur dari produk turunan yang dihasilkan, tapi dari seberapa kuat petani dan lingkungan pesisir bertahan menghadapi perubahan iklim dan tekanan pembangunan,” ujarnya.
Momentum Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (9 Agustus) yang berdekatan dengan HUT RI ke-80 menjadi pengingat: kemerdekaan sejati adalah bebas dari stigma, diskriminasi, dan perampasan ruang hidup.
“Mari mulai memanggil mereka dengan nama yang mereka pilih: Duanu. Menjaga mangrove berarti menjaga nafkah, menjaga kelapa berarti menjaga masa depan. Roadmap perkelapaan harus berdiri di atas prinsip itu—menjaga tuah dan marwah tanah serta laut warisan leluhur,” tutup Zainal.****

