Oleh: Zainal Arifin Hussein Aktivis BDPN / Mahasiswa Doktoral Social Development, Philippine Women’s University (PWU), Filipina
Di pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, terdapat sebuah komunitas maritim yang hingga kini masih menyimpan kisah panjang pergulatan identitas: Duanu. Selama berabad-abad, mereka dikenal luas dengan sebutan Orang Laut—istilah yang lahir dari pandangan luar, baik kolonial, akademisi, maupun masyarakat pesisir lainnya.
Namun, bagi komunitas itu sendiri, istilah Orang Laut tidak sepenuhnya mewakili jati diri mereka. Label tersebut sering dikaitkan dengan kemiskinan, nomadisme, keterbelakangan, bahkan kesan “liar”. Stigma inilah yang membuat mereka sulit menerima sebutan itu sebagai identitas tunggal.
Sebaliknya, masyarakat lebih memilih menegaskan nama Duanu—sebuah endonim yang diwariskan turun-temurun dari leluhur. Duanu bukan sekadar nama, melainkan simbol kehormatan dan martabat. Dengan menyebut diri sebagai Duanu, mereka bukan hanya merawat tradisi, tetapi juga melakukan perlawanan terhadap diskriminasi simbolik yang selama ini melekat pada sebutan Orang Laut.
Jejak Kata Duanu, secara fonetik, kata Duanu memang mirip dengan douane dalam bahasa Prancis yang berarti bea cukai—turunan dari kata Arab dīwān (ديوان) yang berarti daftar atau kantor administrasi (Cohen, 1994; OED, 2020). Tetapi maknanya sangat berbeda. Jika douane mengatur jalur perdagangan, maka Duanu menjaga jalur laut, merawat ekologi pesisir, sekaligus menjalankan peran leluhur sebagai nelayan dan penjaga laut Nusantara (Zainal, 2024).
Identitas dan Resistensi Literatur kolonial kerap menggambarkan Orang Laut dengan nada peyoratif: miskin, terbelakang, dan nomaden (Chou, 2003). Pandangan itu menutup mata terhadap pengetahuan maritim, kearifan budaya, serta peran ekologis yang sebenarnya sangat vital.
Dalam konteks inilah, penegasan identitas Duanu menjadi penting. Ia hadir sebagai strategi resistensi simbolik sekaligus nyata. Dengan nama ini, komunitas menuntut pengakuan akan martabat, hak sejarah, dan peran mereka sebagai penjaga ekosistem laut.
Dari perspektif teori identitas sosial (Tajfel & Turner, 1986), pilihan untuk menggunakan nama Duanu mendongkrak kebanggaan kelompok dan mengikis stigma eksternal. Identitas ganda sebagai bagian dari Orang Laut sekaligus Duanu mencerminkan adaptasi, tetapi juga perlawanan. Mereka tetap mengakui sejarah bersama komunitas maritim, sambil menegaskan Duanu sebagai nama yang lebih setara dan membanggakan.
Suara dari Komunitas Zainal (2024) menegaskan:
“Kata ‘Orang Laut’ adalah label yang dilekatkan oleh penguasa dan masyarakat luar, sering menimbulkan luka. Sebaliknya, ‘Duanu’ adalah nama yang lahir dari dalam komunitas—nama yang membuat mereka bangga, terhormat, dan percaya diri atas identitas leluhur mereka.”
Menegaskan identitas sebagai Duanu bukan berarti menolak sejarah sebagai Orang Laut. Sebaliknya, hal ini adalah upaya memulihkan harga diri kolektif, memperbaiki citra, dan melawan diskriminasi. Identitas ini menjadi fondasi penting bagi perjuangan hak-hak maritim, akses pembangunan pesisir, serta partisipasi dalam kebijakan lingkungan dan ekonomi lokal. Dengan kata lain, Duanu adalah tentang martabat, bukan sekadar nama. ***