Oleh: Zainal Arifin Hussein Aktivis BDPN / Mahasiswa Doktoral Social Development, Philippine Women’s University (PWU), Filipina
“Bangsa atau Orang Laut di Nusantara ini beragam, dengan adat, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Kami ingin menegaskan bahwa Orang Laut di Indragiri Hilir adalah Duanu, dan Islam adalah agama kami.” Irwan, tokoh Duanu
Luka Panjang di Balik Laut yang Indah. Di pesisir Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, terdapat sebuah komunitas yang telah berabad-abad menyatu dengan laut, hidup bersama mangrove, dan menjaga ekosistem pesisir dengan kearifan leluhur. Mereka dikenal publik sebagai Orang Laut, namun sebutan itu bukan sekadar nama, melainkan luka yang diwariskan.
Bagi orang luar, “Orang Laut” terdengar biasa. Tetapi bagi mereka, istilah itu identik dengan ejekan, diskriminasi, dan pelecehan. Anak-anak Duanu kerap ditertawakan di sekolah hanya karena dipanggil “anak Orang Laut”. Perempuan mereka menerima tatapan merendahkan saat berada di pasar. Laki-laki mereka distigma bodoh dan malas, hingga tersingkir dari peluang sosial-ekonomi.
Setiap ejekan adalah pengingat pahit bahwa identitas mereka diposisikan rendah, meski tangan mereka-lah yang menjaga laut, memelihara mangrove, dan menopang kehidupan pesisir.
Dari Stigma ke Identitas Baru: Duanu Menyadari luka sosial yang panjang, mereka menempuh langkah berani: meneguhkan identitas baru sebagai Duanu. Bagi mereka, ini bukan sekadar pergantian nama, tetapi pernyataan harga diri, perlawanan terhadap stigma, dan tuntutan pengakuan publik.
“Duanu” menjadi perisai dari penghinaan. Nama ini mengikat sejarah, budaya, dan agama mereka, sekaligus menegaskan bahwa mereka bukan sekadar objek romantisasi “Orang Laut”, melainkan komunitas bermartabat yang berhak atas penghormatan.
Identitas ini juga berpijak pada keyakinan. Dengan semboyan “DUANU NU AUNEH ISLAM, ISLAM NU DUANU”, mereka menegaskan bahwa menjadi Duanu berarti hidup dalam nilai-nilai Islam.
Kearifan adat mereka menyatu dengan keyakinan, tercermin dalam pesan leluhur: “Hoyyu Barau Untuk Bertedoh, Usah Ditebang Bia Nyu Tumboh” (“Biarkan mangrove tetap hidup, jangan ditebang, agar generasi berteduh”).
Bagi Duanu, mangrove bukan sekadar pohon, melainkan benteng marwah dan masa depan mereka. Makna Kemerdekaan ke-80: Merdeka dari Stigma.
Kini, ketika Indonesia memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, makna merdeka bagi Duanu jauh lebih dalam. Mereka bukan hanya ingin bebas dari penjajahan masa lalu, tetapi juga bebas dari stigma yang mengekang martabat.
Merdeka bagi Duanu berarti: Merdeka menegaskan nama tanpa dilecehkan. Merdeka menuntut pengakuan yang setara. Merdeka menjalankan Islam sebagai ruh komunitas tanpa diskriminasi.
Nama Duanu adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kemenangan atas luka sosial.
Pesan Bagi Bangsa, Duanu sadar, mereka tetap bagian dari Orang Laut. Tetapi stigma harus dihentikan. Identitas baru bukan penolakan sejarah, melainkan langkah menulis sejarah baru yang lebih adil.
Mereka siap disebut “Orang Laut Duanu”, asal dengan penghormatan, bukan ejekan. Karena itu, perjuangan mereka adalah pesan bagi bangsa: penghormatan pada identitas adalah syarat utama persaudaraan.
Setelah terlalu lama dipandang rendah, kini saatnya publik mengakui mereka sebagai: Orang Laut yang berdaulat. Duanu yang bermartabat.
Dan di Hari Kemerdekaan ke-80 ini, suara mereka menggaung sebagai peringatan: “Jangan ulangi sejarah kelam yang merendahkan kami.”****



