Oleh: Zainal Arifin Hussein
Aktivis Yayasan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) / Mahasiswa Doktoral Social Development, Philippine Women’s University (PWU), Filipina
Di sepanjang pesisir Sumatera, hidup sebuah komunitas maritim yang sejak berabad-abad lalu menjadi bagian penting dari sejarah perairan Nusantara. Mereka dikenal luas sebagai bagian dari “Orang Laut”. Namun, yang menarik adalah perbedaan penyebutan: di Riau mereka menamakan diri Duanu, sementara di Jambi lebih sering ditulis Duano. Pertanyaan pun muncul: apakah perbedaan ini sekadar variasi penulisan, ataukah ia menyimpan makna historis dan sosial yang lebih mendalam?
Jejak Sejarah Maritim.
Sejarah membuktikan, komunitas ini memainkan peran sentral dalam perdagangan laut Selat Malaka sejak era kerajaan-kerajaan Melayu. Mereka menjadi penghubung antar-pulau, penjaga jalur laut, sekaligus nelayan tangguh yang menopang ekosistem pesisir.
Catatan kolonial sering melabeli Orang Laut dengan stigma peyoratif: nomaden, miskin, dan terbelakang. Namun di balik stereotipe itu, sesungguhnya tersembunyi jejak peradaban maritim yang berperan menjaga keamanan laut, memperkuat ekonomi kerajaan, sekaligus melestarikan ekologi perairan.
Duanu di Riau, Duano di Jambi.
Di Riau, penyebutan Duanu lahir sebagai endonim yang lebih membanggakan. Nama ini diwariskan turun-temurun, menjadi simbol identitas sekaligus perlawanan terhadap stigma lama. Sementara di Jambi, penulisan Duano masih digunakan, tetapi pada dasarnya merujuk pada komunitas yang sama.
Perbedaan ini menunjukkan adaptasi bahasa di dua wilayah berbeda, menandai jejak penyebaran komunitas laut dari Indragiri hingga Tanjung Jabung Barat. Dari observasi lapangan, jelas bahwa mereka sejatinya adalah satu rumpun. Perbedaan hanya terletak pada dialek dan aksen lokal: penyebutan Duanu lebih dekat dengan intonasi khas Melayu Riau, sedangkan Duano dipengaruhi oleh dialek Melayu Jambi yang kaya dengan akhiran -o.
“Kami ini satu rumpun. Bedanya hanya cara lidah daerah menyebut. Kalau di Jambi jadi Duano, di Riau kami tetap Duanu,” ujar Hassanudin, Ketua Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR).
Identitas, Bahasa, dan Politik Maritim.
Sebagaimana dicatat Andaya (2008), variasi bahasa dan sebutan di wilayah pesisir Selat Malaka sering menandai perbedaan identitas simbolis, meski secara genealogis dan historis komunitasnya sama. Chou (2006) juga menekankan bahwa Orang Laut kerap menyesuaikan penyebutan diri sesuai konteks sosial dan politik lokal, tanpa kehilangan akar identitas maritim mereka.
Kontribusi mereka tidak berhenti pada ekonomi, melainkan juga politik maritim. Raja-raja Melayu, termasuk Kesultanan Johor dan Riau-Lingga, pernah menggantungkan kekuatan lautnya pada keberanian Orang Laut. Mereka adalah pelaut tangguh, pemandu jalur strategis, sekaligus benteng alami Nusantara.
Identitas yang Tetap Bertahan.
Kini, di tengah modernisasi dan tekanan global, komunitas Duanu/Duano berjuang mempertahankan identitas, menjaga ekologi pesisir, serta memperjuangkan martabat maritim mereka.
Perbedaan penulisan nama bukanlah pemisah, melainkan simbol kekayaan sejarah adaptasi dan penyebaran komunitas maritim Nusantara. Pertanyaan “Duanu atau Duano” sejatinya bukan soal benar atau salah, tetapi tentang bagaimana identitas ini terus bertahan, memberi kontribusi nyata bagi sejarah, dan tetap relevan bagi masa depan bangsa maritim Indonesia. ***