PEKANBARU, ELITNEWS.COM,- Komitmen PT Agrinas Palma Nusantara (PT APN) sebagai BUMN pengelola kebun sawit hasil sitaan Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) kembali dipertanyakan publik. Sejak mengambil alih pengelolaan lahan pada September 2025, serangkaian konflik di beberapa kabupaten di Riau terus bermunculan, termasuk yang terbaru antara masyarakat adat Sakai dan PT Sinar Inti Sawit (SIS) di Kecamatan Batin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Situasi ini memicu kritik keras dari berbagai pihak, termasuk Anggota Komisi X DPR RI, Karmila Sari, yang menilai Agrinas gagal menjalankan mandat dengan baik.
Karmila Sari mengungkapkan bahwa konflik serupa sebelumnya terjadi di Kabupaten Rokan Hilir. Menurutnya, kejadian berulang di sejumlah titik membuktikan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap Kerja Sama Operasi (KSO) yang dilakukan PT Agrinas. Ia menegaskan bahwa dalam perjanjian KSO tersebut terdapat 48 syarat penting yang harus dipenuhi, termasuk soal keterlibatan tenaga kerja lokal, mekanisme quality control, serta komitmen pengelolaan yang profesional. “Jika persyaratan ini dipatuhi, konflik semacam ini tidak akan terjadi. Agrinas harus berani memperbaiki KSO-nya,” tegasnya.
Konflik terbaru mencuat akibat penguasaan lahan seluas 732 hektare di Desa Pamesi dan Bumbung oleh PT SIS. Padahal, lahan tersebut merupakan kebun sitaan negara yang berada di bawah pengawasan Satgas PKH. Masyarakat adat Sakai, bersama pemegang KSO, menuntut agar pengelolaan lahan dikembalikan sesuai keputusan negara. Namun kenyataannya, PT SIS masih terlibat aktif mengelola area tersebut, memunculkan pertanyaan besar mengenai kepatuhan perusahaan terhadap aturan hukum yang berlaku.
Para tokoh adat Sakai menilai keberadaan PT SIS di lahan sitaan negara sebagai bentuk pembangkangan terhadap keputusan resmi Satgas PKH. Mereka juga menyayangkan sikap PT Agrinas yang dinilai terlalu pasif dan tidak menunjukkan tindakan tegas sebagai pemegang mandat pengelolaan aset negara. “Jika negara sudah menyita, tidak boleh lagi ada perusahaan lama menguasai. Agrinas jangan diam,” tegas salah satu tokoh adat dalam pernyataannya.
Ketegangan memuncak pada 17 November 2025 ketika masyarakat adat dan pemegang KSO mendatangi lokasi kebun untuk meminta agar lahan diserahkan sesuai ketetapan negara. Namun, upaya tersebut terhambat oleh pekerja dan petugas keamanan PT SIS yang menolak kehadiran mereka. Bahkan sempat terdengar ujaran provokatif bernada ancaman dari pihak perusahaan, memicu suasana semakin panas meski masyarakat datang secara damai.
Tokoh masyarakat menilai tindakan PT SIS sebagai upaya mengadu domba antara pekerja dan masyarakat adat. Mereka menilai para pekerja hanya dijadikan tameng untuk menghambat penegakan putusan negara. Situasi ini dinilai tidak hanya membahayakan stabilitas sosial, tetapi juga mencoreng citra perusahaan yang masih aktif mengelola lahan secara ilegal.
Sementara itu, PT Agrinas menjadi sorotan utama karena dinilai tidak menunjukkan ketegasan dalam menyikapi kasus tersebut. Masyarakat adat mendesak BUMN tersebut segera mengambil alih pengelolaan lahan sesuai mandatnya dan menghentikan seluruh aktivitas PT SIS di area sitaan negara. “Kalau Agrinas tegas sejak awal, tidak akan ada keributan kemarin,” ujar seorang tokoh Sakai yang kesal melihat situasi.
Dalam serangkaian tuntutannya, masyarakat adat Sakai meminta PT SIS mengakui kesalahan, menghentikan aktivitas di lahan sitaan negara, serta tidak lagi melibatkan para pekerja dalam konflik yang bukan tanggung jawab mereka. Mereka menegaskan bahwa keputusan negara harus menjadi dasar utama, bukan kepentingan korporasi. “Ikuti aturan, jangan ciptakan benturan,” tegas perwakilan masyarakat.
Puncak dari tekanan masyarakat adat terjadi ketika perwakilan Sakai mendatangi Seknas Sumatera Bersama Prabowo–Gibran di Jakarta Selatan untuk meminta perlindungan hukum. Mereka mengungkapkan bahwa sejak lahan dipasangi plang Satgas PKH enam bulan lalu, masyarakat adat tidak lagi dapat mengelola tanah mereka dan kini banyak yang kehilangan mata pencaharian. Dari total 16 ribu hektare tanah adat, mereka hanya menuntut 4.000 hektare di Desa Bumbung, namun hingga kini wilayah itu tetap dikuasai PT SIS.
Dengan polemik yang kian meruncing, publik kini menanti langkah tegas PT Agrinas dan pemerintah pusat untuk memastikan bahwa aset negara benar-benar dikelola sesuai hukum dan tidak menimbulkan konflik sosial yang berkepanjangan. Konflik ini menjadi ujian besar bagi komitmen pemerintah dalam menertibkan kawasan hutan serta melindungi hak masyarakat adat.****

