PEKANBARU, ELITNEWS.COM — Komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon melalui program Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 kembali menuai sorotan tajam. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau meluncurkan laporan investigasi bertajuk "Komitmen Semu FOLU Net Sink 2030 di sektor Korporasi Kehutanan Riau", dalam sebuah forum diskusi publik di Pekanbaru, Sabtu (2/8/2025).
Dalam laporan tersebut, WALHI Riau menyatakan bahwa implementasi FOLU Net Sink 2030 di Provinsi Riau, yang menjadi wilayah intervensi terbesar secara nasional, masih jauh panggang dari api. Target yang ditetapkan pemerintah dianggap terancam gagal, terutama akibat lemahnya pengawasan terhadap praktik korporasi kehutanan di daerah.
Dalam paparannya, Rezki Andika selaku staf kajian WALHI Riau membeberkan tiga akar masalah utama:
1. Konflik tenurial yang belum terselesaikan di areal konsesi perusahaan HTI.
2. Ketidaksesuaian antara dokumen Rencana Kerja (Renja) FOLU Net Sink dengan kondisi di lapangan.
3. Masih maraknya pelanggaran lingkungan hidup, termasuk kerusakan ekosistem gambut dan praktik yang bertentangan dengan Rencana Perlindungan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG).
Investigasi WALHI dilakukan di lima konsesi perusahaan: PT Ruas Utama Jaya (RUJ), PT Suntara Gajapati (SGP), PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT National Sago Prima (NSP), dan eks PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL).
Salah satu temuan mencolok adalah perbedaan signifikan antara data dokumen dan kondisi di lapangan. Misalnya, RO2 (pencegahan deforestasi gambut) di PT NSP diklaim mencakup 1.449,73 hektar, namun WALHI hanya menemukan 275 hektar hutan alam.
Di lokasi lain, RO1 dan RO7 seharusnya berada di lahan mineral, namun justru ditemukan di kawasan gambut yang sangat rentan rusak. Bahkan, RO4 di konsesi PT SRL disebut sebagai lahan tidak produktif, padahal telah dikelola sejak 2009.
WALHI juga mencatat adanya konflik sosial aktif di tiga perusahaan:
PT RUJ: 17,8 ribu hektar tumpang tindih dengan pemukiman dan kebun masyarakat Desa Basilam Baru.
PT SGP: Indikatif konflik seluas 20,8 ribu hektar dengan desa yang sama.
PT SRL: Konflik di lahan 1,3 ribu hektar dengan masyarakat Kelurahan Batu Panjang dan Terkul.
Selain itu, keempat perusahaan aktif masih menunjukkan indikasi pelanggaran lingkungan, mulai dari degradasi gambut hingga aktivitas yang bertentangan dengan Renja FOLU dan RPPEG.
Dengan temuan ini, WALHI Riau mendesak Presiden RI turun tangan langsung memastikan implementasi FOLU Net Sink tidak hanya berhenti pada wacana dan dokumen perencanaan. “FOLU Net Sink harus ditegakkan di tingkat tapak. Jangan hanya bagus di atas kertas,” tegas Rezki.
Direktur Eksekutif WALHI Riau, Riko Kurniawan, menyampaikan bahwa selama dua dekade, Riau terus mengalami degradasi lingkungan, alih fungsi hutan, dan kebakaran hutan tanpa pemulihan berarti. “Isu iklim jangan cuma jadi gimik. Kita butuh aksi nyata di lapangan,” tegasnya.
Sementara itu, Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional menyoroti bagaimana negara sering kali menegasikan keberadaan masyarakat adat yang hidup dari hutan. “Bagi masyarakat, hutan adalah ruang hidup, bukan hanya sumber ekonomi,” ujarnya.
Diskusi yang dipandu oleh Sri Depi Surya berlangsung dinamis dengan berbagai pertanyaan dari peserta. Publik mempertanyakan kelayakan pencapaian FOLU Net Sink dan peran masyarakat adat dalam pengurangan emisi karbon.
Rekaman diskusi lengkap dapat disaksikan melalui kanal YouTube WALHI Riau, dan laporan investigasi dapat diakses di situs resmi WALHI Riau.
FOLU Net Sink 2030 adalah program nasional yang menargetkan agar sektor kehutanan dan lahan dapat menyerap emisi karbon lebih banyak daripada yang dilepaskan pada tahun 2030. Riau sebagai provinsi dengan konsesi HTI dan lahan gambut terbesar, memegang peran penting dalam keberhasilan program ini. Namun, sebagaimana disorot WALHI, tanpa implementasi konkret dan perlindungan terhadap masyarakat serta lingkungan, komitmen ini hanya akan menjadi janji kosong. ****